Alat pendeteksi virus corona SARS CoV 2 bernama GeNose buatan Universitas Gadjah Mada (UGM) mendapat izin edar Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Menurut laman resmi UGM, izin edar tersebut diberikan Kemenkes pada Kamis, 24 Desember 2020. "Alhamdulillah, berkat doa dan dukungan luar biasa dari banyak pihak GeNose C19 secara resmi mendapatkan izin edar (KEMENKES RI AKD 20401022883) untuk mulai dapat pengakuan oleh regulator, yakni Kemenkes, dalam membantu penanganan Covid 19 melalui skrining cepat," kata Ketua tim pengembang GeNose, Prof. Kuwat Triyana.
Setelah mengantongi izin edar, Kuwat menegaskan akan segera memproduksi massal GeNose. Sementara itu, biaya tes GeNose dipatok harga Rp 15 25 ribu dengan hasil tes yang dapat diketahui hanya dalam 2 menit dan tidak memerlukan reagen atau bahan kimia lainnya. “Pengambilan sampel tes berupa embusan nafas juga dirasakan lebih nyaman dibanding usap atau swab,” ujar Kuwat seperti dilansir Kompas TV, Sabtu (26/12/2020).
Dari pengujian itu, diketahui tingkat akurasi GeNose mencapai 97 persen. Salah satu anggota Tim Pengembang GeNose, Dian Kesumapramudya Nurputra, mengungkapkan alat tersebut mengidentifikasi virus corona dengan cara mendeteksi Volatile Organic Compound (VOC). Dian mengatakan, VOC terbentuk lantaran adanya infeksi Covid 19 yang keluar bersama napas.
Orang orang yang akan diperiksa menggunakan GeNose, terlebih dahulu diminta mengembuskan napas ke tabung khusus. Sensor sensor dalam tabung itu lalu bekerja mendeteksi VOC. Kemudian, data yang diperoleh akan diolah dengan bantuan kecerdasan buatan hingga memunculkan hasil.
Dalam waktu kurang dari 2 menit, GeNose bisa mendeteksi apakah seseorang positif atau negatif Covid 19. Pakar Biologi Molekuler Ahmad Utomo yang tidak terlibat dalam penelitian menerangkan kepada Kompas.com bahwa konsep yang diusung oleh GeNose sangat menarik. Ahmad menjelaskan, konsep GeNose sebenarnya bukan konsep baru dan sudah banyak diteliti oleh negara lain, seperti Singapura.
"Namun inovasi GeNose mampu membuat alat yang portable. Itu yang menarik," kata Ahmad kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Minggu (27/12/2020). "Tapi konsepnya tidak mendeteksi virusnya secara langsung. Yang mereka deteksi adalah metabolit gas ketika seseorang terinfeksi virus," jelasnya. Dia menerangkan, saat manusia bernapas, ada banyak sekali embusan gas organik yang keluar.
"Jadi kalau kita cek dengan mesin, (saat bernapas) ada banyak banget macamnya dan jumlahnya (gas organik)," terangnya. Nah, saat seseorang terinfeksi virus, virus ini akan menimbulkan kelainan metabolik. "Kelainan metabolik ini yang mereka (tim peneliti UGM) coba rekam. Ada rekam jejak yang berbeda enggak," katanya.
Sebagai contoh, orang sehat memiliki presentasi komposisi gas yang berbeda dengan orang yang terinfeksi flu. "Orang sehat misalnya memiliki komposisi gas A sekian persen, gas B sekian persen, dan gas C sekian persen. Nah, tapi kalau dia terkena penyakit, komposisi itu bisa berbeda," kata Ahmad. Komposisi gas dalam napas manusia itu juga dapat membedakan satu penyakit dengan penyakit lain.
Untuk melacak komposisi ini, tim UGM menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) karena harus mengecek ribuan komposisi gas tersebut. "Dari ribuan gas tersebut kemudian akan diskrining, kira kira profil seperti apa yang paling mendekati orang yang terkenda Covid 19," ucap Ahmad. "Jadi menarik sebetulnya. Anda tinggal hembuskan napas, nanti mesin akan melacak dan dibandingkan dengan database AI. Jadi kalau misal profilnya seperti ini, most likely adalah orang yang sudah terinfeksi Covid 19," terangnya.
Artikel ini merupakan bagian dari KG Media. Ruang aktualisasi diri perempuan untuk mencapai mimpinya.