Anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron mengatakan, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi kinerja Pertamina, termasuk ketika BUMN tersebut merugi. Di antaranya, harga minyak dunia, nilai tukar, hingga turunnya permintaan. Ia menerangkan, terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing secara langsung berdampak terhadap niai impor minyak mentah (crued oil) untuk konsumsi dalam negeri.
“Pertamina hanya bisa memenuhi 400 500 ribu barel per hari. Sedangkan sisanya dari total komsumsi sebesar 1,6 juta barel per hari masih mengandalkan dari impor,” kata Herman ketika dimintai komentarnya oleh wartawan melalui sambungan telepon, Jumat (28/8/2020) kemarin. Faktor lainnya, penurunan komsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai akibat terjadinya pandemi Virus Covid 19. Menurut Herman, kondisi ini ikut menekan pendapatan Pertamina. Tak hanya disektor hulu, di sektor hilir ikut merasakan dampak dari pandemi ini.
“Pandemi ini otomatis menyebabkan demand mengalami penurunan. Tak hanya bagi komsumsi masyarakat, bagi kebutuhan industri dan maskapai penerbangan ikut menurun signifikan,” jelas Herman. Ia melanjutkan, penugasan pemerintah guna meningkatkan produksi melalui pembangunan kilang guna mengejar target lifting migas pemerintah ikut mempengaruhi pendapatan perusahaan plat merah ini. Pertamina tengah mengembangkan kapasitas empat kilang di Balongan, Cilacap, Balikpapan, dan Dumai serta membangun kilang baru di Tuban dan Bantul.
Proyek ini diharapkan selesai 2026 agar bisa mengurangi impor minyak yang menjadi sumber defisit neraca perdagangan. Menghadapi situasi seperti ini, sambung dia, diharapkan Pertamina bisa lebih efisien. Hal ini penting dilakukan agar kebutuhan migas bagi masyarakat bisa terpenuhi dengan baik. Di sisi lain, Herman memberikan apresiasi terhadap Pertamina yang tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap seluruh pegawainya. Kondisi ini berbeda dengan sejumlah perusahaan atau BUMN yang mengurangi pegawainya karena pandemi Covid 19.